Senin, 10 Oktober 2011

siklus dan pembelahan sel


SIKLUS DAN PEMBELAHAN SEL
Siklus sel adalah kegiatan yang terjadi dari satu pembelahan sel ke pembelahan sel berikutnya. Siklus sel adalah fungsi sel yang paling mendasar berupa duplikasi akurat sejumlah besar DNA di dalam  kromosom, dan kemudian memisahkan hasil duplikasi tersebut hingga terjadi dua sel baru yang identik. Siklus sel mencakup dua fase, yaitu fase persiapan (Interfase) dan fase pembelahan (Mitosis). Fase persiapan terdiri atas periode G1 (gap 1), periode S (sintesis) dan periode G2 (gap 2). Fase pembelahan terdiri atas karyokinesis atau mitosis (pembelahan nucleus) dan sitokinesis (pembagian sitoplasma).
        Gambar Siklus Sel
Urutan tahapan siklus adalah G1-S-G2-M. Tahap S (tahap sintesis) adalah tahapan dimana terjadi sintesis dan replikasi DNA sehingga volume inti sel meningkat. Tahap interfase terdiri G1, S dan G2. Tahap M (mitosis) berlangsung ketika pembagian inti (kromosom) dan sitoplasma. Mitosis terdiri dari 4 fase yaitu profase, metaphase, anaphase dan telofase.
  1. Fasa S (sintesis)
Merupakan tahap terjadinya replikasi DNA. Pada umumnya, sel tubuh manusia membutuhkan waktu sekitar 10 jam untuk menyelesaikan tahap ini. Hasil replikasi kromosom yang telah utuh, segera dipilah bersama dengan dua nukleus masing-masing guna proses mitosis pada fasa M.
  1. Fasa M (mitosis)
Interval waktu fasa M kurang lebih 1 jam. Tahap di mana terjadi pembelahan sel (baik pembelahan biner atau pembentukan tunas). Pada mitosis, sel membelah dirinya membentuk dua sel anak yang terpisah. Dalam fasa M terjadi beberapa jenjang fasa, yaitu:
§  Profasa, fasa terjadinya kondensasi kromosom dan pertumbuhan pemintalnya. Pada saat ini kromosom terlihat di dalam sitoplasma.
§  Prometafasa, pada fasa ini sampul inti sel terlarut dan kromosom yang mengandung 2 kromatid mulai bermigrasi menuju bidang ekuatorial (piringan metafasa).
§  Metafasa. kondensasi kromosom pada bidang ekuatorial mencapai titik puncaknya
§  Anafasa. Tiap sentromer mulai terpisah dan tiap kromatid dari masing-masing kromosom tertarik menuju pemintal kutub.
§  Telofasa. Kromosom pada tiap kutub mulai mengalami dekondensasi, diikuti dengan terbentuknya kembali membran inti sel dan sitoplasma perlahan mulai membelah
§  Sitokinesis. Pembelahan sitoplasma selesai setelah terjadi oleh interaksi antara pemintal mitotik, sitoskeleton aktomiosin dan fusi sel dan menghasilkan dua sel anak yang identik.
  1. Fasa G (gap)
Fasa G yang terdiri dari G1 dan G2 adalah fasa sintesis zat yang diperlukan pada fasa berikutnya. Pada sel mamalia, interval fasa G2 sekitar 2 jam, sedangkan interval fasa G1 sangat bervariasi antara 9 jam hingga beberapa hari. Sel yang berada pada fasa G1 terlalu lama, dikatakan berada pada fasa G0 atau “quiescent”. Pada fasa ini, sel tetap menjalankan fungsi metabolisnya dengan aktif, tetapi tidak lagi melakukan proliferasi secara aktif. Sebuah sel yang berada pada fasa G0 dapat memasuki siklus sel kembali, atau tetap pada fasa tersebut hingga terjadi apoptosis.
Pada umumnya, sel pada orang dewasa berada pada fasa G0. Sel tersebut dapat masuk kembali ke fasa G1 oleh stimulasi antara lain berupa: perubahan kepadatan sel, mitogen atau faktor pertumbuhan, atau asupan nutrisi.
  1. Interfasa
Merupakan sebuah jedah panjang antara satu mitosis dengan yang lain. Jedah tersebut termasuk fasa G1, S, G2.
pembelahan sel merupakan bagian dari siklus sel.Pembelahan sel di bagi atas 3 yaitu amitosis, mitosis dan meosis. Amitosis adalah pembelahan langsung karena inti membelah tanpa melibatkan pembentukan kromosom. Pembelahan diawali dengan memanjangnya sel dan inti yang diikuti oleh bagian tengah sampai putus.  Mitosis merupakan proses pembelahan inti yang diikuti oleh pembelahan sel. Pembelahan mitosis terjadi selama ± 2 jam. Meosis adalah proses pembelahan sel yang terjadi pada sel kelamin dari organism yang mengadakan reproduksi secara generative. Meosis terjadi dalam dua kali pembelahan dan akhir dari pembelahan akan terbentuk sel haploid.

Pada jurnal yang berjudul “ Telaah Beberapa Fungsi Titik-Uji Siklus Pembelahan Sel Fase G1 dan S Dari Inhibitor Kinase-Bergantung-Siklin Sic1” di teliti bahwa Sic1 sebagai suatu protein titik-uji yang memonitor penyelesaian suatu proses dalam siklus sel dan menghentikan siklus sel bila proses yang dipantau tersebut belum tuntas atau mengalami hambatan, yakni dengan menghambat kerja CDK yang berperanan dalam menggerakkan siklus sel. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan sel ragi. Keuntungan mempelajari siklus sel eukariot atau sel manusia menggunakan model sel ragi, bukan saja disebabkan terkonservasinya siklus sel mulai dari sel ragi hingga sel manusia, tetapi juga karena sel ragi lebih mudah dipropagasi dari sel manusia, karena memiliki waktu belah yang hanya 90 menit (sel manusia 24 jam), mudah diamati secara visual di bawah mikroskop, dan memerlukan bahan media yang relatif lebih murah dibandingkan media untuk kultur sel manusia. Hingga kini, berdasarkan temuan yang diperoleh dari mempelajari siklus sel ragi, diperoleh analogi dan diklon gen-gen homolognya pada sel manusia.
Sebelum pembelahan sel, sel dipastikan selesai melakukan replikasi DNA, perbaikan DNA dan penyusunan gelondong-gelondong dan juga pertumbuhan beberapa ukuran. Dilakukan titik control timbal balik pada siklus sel untuk tempat pemeriksaan. Untuk dapat menentukan proses yang dipantau oleh fungsi titik-uji dari Sic1, dalam penelitian ini telah dilakukan telaah terhadap pengaruh pelesapan gen  SIC1 terhadap beberapa proses fase G1 dan S yang telah diketahui. Telaah ini dimulai dengan meneliti respon sel  ∆sic1  terhadap kerusakan DNA akibat sinar UV dan sinar-γ. Pada sel mamalia, sebagai respon terhadap kerusakan DNA akibat penyinaran-γ, protein penghambat tumor p53 akan menginduksi transkripsi suatu CKI (=Cyclin dependent kinase inhibitor =  inhibitor kinase-bergantung-siklin) mamalia, yakni p21CIP1.  p21CIP1 yang terinduksi sintesisnya, akan menghentikan siklus sel, sehingga memberi waktu bagi sel untuk memperbaiki kerusakan pada DNA, atau bila kerusakan tak dapat diperbaiki, menyebabkan sel mengalami apoptosis (El-Deiry dkk., 1994).
Pada penelitian ini, ternyata sel  ∆sic1  tidak memberikan respon berbeda dengan sel  SIC1+ terhadap sinar UV, meskipun sel  ∆sic1  ternyata lebih tahan terhadap sinar-γ dibandingkan sel  SIC1+. Ketahanan yang meningkat terhadap sinar-γ dari sel  ∆sic1  dibandingkan sel SIC1+ kemungkinan disebabkan bagian terbesar (70%) dari sel  ∆sic1 dalam kultur yang digunakan ber-ada pada fase G2 (Nugroho & Mendenhall, 1994; Nugroho, 1998). Sel pada fase G2 lebih tahan terhadap sinar ionisasi daripada sel pada fase G1  (Brunborg & Williamson, 1978). Berbeda dengan kultur  ∆sic1, jumlah sel SIC1+ yang berada pada fase G1 dan G2 pada kultur sama banyak (Nugroho & Mendenhall, 1994; Nugroho, 1998). Sel G2 lebih tahan terhadap sinar-γ karena pemutusan rantai DNA dapat dengan mudah diperbaiki secara rekombinasi dengan rantai kedua.
Hasil yang tampak Sic1 tidak dibutuhkan untuk penyebaran siklus sel dan memantau proses replikasi dan perbaikan DNA, serta pembentukan gelendong mikrotubula. Sic1 juga tidak dibutuhkan untuk memberikan respon terhadap feromon perjodohan, dan kekurangan nutrisi.
Pada jurnal “ Peningkatan Aktivitas Doxorubicin Oleh Ekstrak Etanolik Kulit Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia ) Melalui Penghambatan Siklus Sel dan Induksi Apoptosis Pada Sel Kanker Payudara MCF-7 “ apoptosis  pertama diidentifikasikan sebagai bentuk kematian sel berdasarkan  kepada morfologinya. Penelitian mengenai insiden biokomiawi dan genetik merupakan prediksi dari peranannya  dalam mengontrol sel ditentukan secara genetik dan alamiah sehingga kontrol genetik dan mekanisme biokimia dari apoptosis menjadi lebih dimengerti dalam perkembangan dan strategi terapi  yang mengatur kejadian dalam proses penyakit. Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi chromatin, fragmentasi sel dan pagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya.
Menurut dataWHO (I), kanker payudara menempati urutan ke lima di dunia sebagai penyebab kematian akibat kanker. Pengobatan kanker yang biasanya dilakukan selama ini adalah dengan kemoterapi, pembedahan, radioterapi, dan pengobatan dengan hormon. Permasalahan yang terjadi adalah kebanyakan agen kemoterapi memiliki selektivitas yang rendah sehingga membahayakan sel normal. Selain itu, pada kanker payudara terjadi kasus resistensi terhadap agen kemoterapi. Kokemoterapi doxorubicin dengan bahan alam perlu dikembangkan untuk menghindari resistensi kanker payudara terhadap doxorubicin dan meminimalisasi efek samping. Kulit jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang mengandung flavonoid hesperidin dan naringin berpotensi sebagai agen kokemoterapi doxorubicin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa EKJN 15 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 18,14% dan akumulasi sel terbesar pada Jase G2/M, sedangkan EKJN 6 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 9,04% dan akumulasi sel terbesar pada fase Gl. Setelah perlakuan EKJN dikombinasi dengan doxorubicin 175 nM, terjadi peningkatan apoptosis. Kombinasi doxorubicin 175 nM dan EKJN 15 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 18,40% dan acumulasi sel terbesar pada fase Gl, sedangkan kombinasi doxorubicin 175 nM dan EKJN 6 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 25,28% dan akumulasi sel terbesar pada fase G2/M. Peningkatan apoptosis pada perlakuan kombinasi didukung denggan hasil uji double staning. Pada perlakuan kombinasi tampak lebih banyak sel yang berfluoresensi orange dan mengalami fragmentasi DNA. Dari hasil penelitian, menyimpulkan bahwa EKJN dan kombinasinya dengan doxorubicin mampu menghambat siklus sel kanker payudara MCF-7 dan meningkatkan apoptosis sel. Oleh karena itu, EKJN berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen kokemoterapi.

Pada jurnal Interkinetic Nuclear Migration: Cell Cycle On The Move” Perkembangan jaringan neuroepithelia terdiri dari sel-sel progenitor saraf, masing-masing menempati seluruh ketebalan epitel dari permukaan ventrikel ke sisi laminal. Inti sel menempati posisi yang berbeda sepanjang sumbu jaringan apikal-basal, namun secara eksklusif mitosis terjadi dekat dengan permukaan ventrikel (sisi apikal). Kemudian inti pindah ke daerah atas di dekat sisi dasar dimana mereka melanjutkan melalui S-fase. Gerakan nuklir diulang pada setiap siklus sel dan dijaga oleh migrasi apikal-ke-basal selama fase G1-dan sebaliknya gerakan basal-ke-apikal  selama fase G2-. Meskipun fenomena ini, yang dikenal sebagai INM, pertama kali dijelaskan lebih dari 70 tahun yang lalu (Sauer, 1935), fungsinya tetap kontroversial. Awalnya, telah diusulkan bahwa fungsi sederhana INM bisa untuk memaksimalkan jumlah mitosis pada permukaan apikal terbatas untuk memungkinkan ekspansi nenek moyang yang lebih efisien. Seperti sel-sel saraf progenitor memiliki tubuh basal / Sentrosom terletak pada permukaan apikal selama interfase, telah disarankan bahwa inti harus mencapai posisi ini dalam rangka merakit gelendong mitosis. Dengan memindahkan inti melalui INM, karena itu mungkin untuk memaksimalkan jumlah divisi per permukaan apikal yang tersedia (Ikan et al, 2008). Data yang lebih baru telah mendukung peran instrumental dari INM dalam menentukan nasib sel nenek moyang saraf, dengan memindahkan inti mereka melalui gradien sinyal sepanjang sumbu apikal-basal epitel (Murciano et al, 2002; Baye dan Link, 2007; Del Bene et al, 2008; Latasa et al, 2009). Eksperimental gangguan timbal INM cacat pada neurogenesis dengan penipisan dini prekursor neuron dan tidak seimbang keputusan nasib sel saraf (Schenk et al, 2009). Meskipun kemajuan ini dan lainnya dalam memahami fungsi dan mesin molekuler mengemudi INM, pertanyaan yang belum terpecahkan tetap tentang hubungan antara INM dan siklus sel, memastikan kedua proses dinamis erat. Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa INM tidak diperlukan untuk sel-siklus perkembangan dan menghalangi atau menunda gerakan nuklir tidak mengubah sel-siklus panjang (Murciano et al, 2002; Schenk et al, 2009). Sebaliknya, sel-siklus perkembangan tidak dapat uncoupled dari INM. Kedua menghalangi dan menunda siklus sel hasil baik penangkapan atau pengurangan INM, masing-masing (Ueno et al, 2006; Baye dan Link, 2007). Hasil ini juga dikonfirmasi oleh Kosodo et al: menangkap saraf progenitor di G1-fase dengan berlebih menyebabkan akumulasi p18Ink4c nuklir di sisi basal. Di sisi lain, mempercepat atau memperlambat sel-siklus panjang tidak mengubah posisi apikal inti mitosis, menunjukkan bahwa sel-sel progenitor dapat mengatur kecepatan durasi INM ke sel-siklus diubah (Lange et al, 2009; Pilaz et al, 2009). Dari data ini,  dapat menyimpulkan bahwa migrasi nuklir tidak penting untuk sel-siklus perkembangan tetapi sel-siklus regulator juga mengerahkan kontrol yang ketat terhadap INM. Dalam penelitian ini, mekanisme molekuler pertama yang menghubungkan antara siklus sel dan INM dijelaskan (Kosodo et al, 2011). Dalam otak tikus embrio, Tbx2 dinyatakan dalam S, G2-dan M-fase nenek moyang saraf. Khususnya selama fase G2-, Tpx2 ditemukan untuk melokalisasi dengan proses apikal dalam pola serat seperti, mungkin terkait dengan mikrotubulus. Selanjutnya, Tpx2 deplesi penurunan basal migrasi-ke-apikal G2-fase inti nenek moyang saraf dan menyebabkan peningkatan mitosis dalam posisi subapical. Dengan demikian, fase G2-translokasi Tpx2 untuk proses saraf apikal organisasi mengubah nenek moyang mikrotubulus, mempromosikan gerakan nuklir apikal diarahkan dan memastikan bahwa hal ini terjadi selama fase siklus sel yang tepat (G2-fase).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar